DI pinggir Montevideo, di bawah langit kelabu yang meratap dalam hening, sebuah lahan kecil terbentang, hijau pucat, dipeluk rumput liar yang bergoyang bagai isak tangis yang terpendam. Tanah itu bukan sekadar bumi, melainkan rahim ibunya, jantung Uruguay, denyut rakyat yang tertindas, tempat setiap luka dan harapan Mujica berlabuh. Di sana, José Mujica, lelaki tua dengan wajah penuh luka waktu, berdiri dengan baju lusuh, tangannya yang rapuh mencangkul tanah seolah memeluk ibunya yang telah lama pergi.
Setiap cangkulan adalah jerit perjuangan, setiap genggam tanah adalah air mata yang ia tumpahkan—air mata yang bukan hanya duka, tapi sungai cinta yang mengalir untuk mimpi keadilan yang ia pertaruhkan nyawanya. Di sisinya, Manuela, anjing berkaki tiga, memandang dengan mata berkaca, seolah tahu bahwa tuannya bukan petani biasa, melainkan jiwa yang terkoyak oleh perjuangan, nyala terakhir di dunia yang membeku. Tanah ini adalah darahnya, pelukannya, tempat ia pulang setelah badai hidup, tempat air matanya menyatu dengan aroma ibunya dalam setiap butir debu yang basah.
Hari itu, seperti hari-hari yang kian mencuri nafasnya, Mujica bekerja dalam sunyi yang mencabik jiwa. Sunyi itu hidup, penuh bayang-bayang yang menghantam dadanya: gemuruh tembakan di malam kelam, jerit kawan yang gugur dengan nama-nama yang menghantui mimpinya, dan suara ibunya, Lucy Cordano, yang memanggil dari lorong masa kecil, “José, makanlah, anakku, dan berbagilah, selalu berbagi.” Air mata mengalir deras di pipinya, bukan karena angin, tapi karena rindu yang mencakar hingga tulang, rindu pada ibunya, pada rakyat yang ia bela dengan darah dan nyawa. “Bu, maafkan saya,” bisiknya pada tanah, suaranya patah, “saya tak cukup menciummu, tak cukup membayar utang pada mereka yang kelaparan.” Air matanya jatuh, meresap ke tanah, seolah tanah itu menjawab dengan getar lembut, menampung setiap tetes sebagai saksi perjuangannya yang tak pernah surut. Air mata itu adalah darah jiwanya, doa untuk rakyat, dan jerit penyesalan karena dunia masih timpang.
Perjuangan hidupnya adalah api yang tak pernah padam, lahir dari masa kecil yang kelaparan di antara tanah petani yang tandus. Ayahnya, Demetrio, patah oleh kemiskinan, meninggalkannya saat ia masih kanak, dan ibunya, Lucy, dengan tangan kasar namun penuh cinta, mengajarinya bahwa hidup adalah berbagi, meski hanya sebutir roti. Kemiskinan itu bukan kutukan, tapi panggilan—panggilan untuk melawan ketidakadilan yang ia lihat di wajah-wajah petani, buruh, dan anak-anak yang matanya kosong oleh lapar. Api itu membesar ketika ia menjadi Tupamaro, gerilyawan yang menari di ujung maut, merampas dari tangan-tangan rakus yang mencekik rakyat, lalu menaburkan hasilnya pada mereka yang hanya punya air mata di perut kosong. “Keadilan adalah nyawa, bukan kata!” teriaknya di malam-malam ketika peluru bernyanyi kematian, ketika ia mempertaruhkan segalanya, tubuh dan jiwa, demi rakyat yang tak pernah ia kenal namanya. Tanah Uruguay menyaksikan, menyerap air matanya, darahnya, ketika enam peluru merobek tubuhnya, dan tanah itu pula yang memeluknya, seolah berkata, “Kau milikku, José, lanjutkan.” Ia selamat, entah karena Tuhan atau karena air matanya telah menyatu dengan tanah, menjadi ikatan abadi dengan perjuangan.
Penjara adalah neraka yang mengujinya, tiga belas tahun dalam sumur gelap, di antara bayang-bayang kegilaan. Di sana, air matanya adalah bahasa satu-satunya, mengalir dalam diam, berbicara pada tanah yang tak ia sentuh, pada bayang ibunya, pada rakyat yang ia tinggalkan. Ia menangis hingga suaranya hilang, menjerit dalam hati ketika disiksa, ketika isolasi mencabik jiwanya, tapi perjuangan itu tak pernah mati. Dalam kegelapan, ia belajar bahwa kebencian adalah maut, dan kebebasan sejati adalah hati yang memaafkan meski berdarah. Ketika ia akhirnya bebas, ia bukan lagi hanya gerilyawan, tapi seorang pejuang yang membawa luka dan mimpi rakyat di pundaknya, menolak menyerah meski dunia terus mengkhianatinya.
Kini, di lahan kecil ini, tanah adalah kitab hidupnya, dan air mata adalah tintanya. Mujica bukan lagi Tupamaro yang menantang peluru, juga bukan presiden yang memimpin Uruguay dengan tangan sederhana, menolak istana demi rumah reyot yang dipeluk tanah. Ia adalah anak tanah, menanam bunga sebagai puisi untuk rakyat yang masih lapar, menyumbang gajinya demi anak-anak yang dahulu adalah dirinya, mengendarai Volkswagen Beetle tua yang berderit seperti tangis perjuangannya. Setiap kebijakannya sebagai presiden—melegalisasi ganja untuk mematahkan kartel, memperjuangkan pernikahan sesama jenis, memberi rumah bagi tunawisma—adalah air mata yang ia teteskan untuk rakyat, setiap tetes adalah jerit perjuangan yang tak pernah usai. “Kekayaan adalah kutukan, Lucía,” katanya pada istrinya, suaranya serak, air mata menggenang, tangannya menggenggam tanah seolah mencari kekuatan untuk terus bertahan. Lucía, dengan tangan gemetar dan mata penuh luka, memandangnya, air matanya sendiri jatuh ke tanah, menyatu dengan air mata suaminya. Dalam tatapan mereka ada lautan rindu—pada dunia yang mereka coba selamatkan, pada masa muda yang terkoyak oleh perjuangan, pada tanah yang menampung setiap tetes duka mereka. “Kita cukup, José,” bisik Lucía, tapi air matanya berkata lain, seolah tahu waktu sedang mencuri pejuang itu.
Malam menjelang, dan Mujica duduk di beranda reyot, memandang langit bertabur bintang yang buram oleh air mata. Di dadanya, kanker menggerogoti, setiap nafas adalah perang, tapi ia tak peduli. “Hidup bukan soal berapa lama kita bertahan, tapi apa yang kita tanam dengan air mata kita di hati dan tanah,” katanya pada Manuela, yang meringkuk di kakinya, menggonggong pelan seolah memohon tuannya bertahan. Ia meraih segenggam tanah, menciumnya, dan air matanya mengalir deras, menyatu dengan bumi. Air mata itu adalah hidupnya: rindu pada ibunya, cinta pada rakyat, penyesalan karena tak bisa menghapus seluruh ketidakadilan. Ia tahu, nafasnya tinggal hitungan, tapi ia tak takut. Tanah telah melihat perjuangannya: dari sumur penjara yang mencuri jiwanya, dari kursi kekuasaan yang ia tolak gemerlapnya, dari darah revolusi hingga bunga-bunga yang kini mekar di ladangnya, setiap kelopak adalah air matanya, setiap akar adalah darahnya. Ia hanya ingin manusia belajar mencintai, bukan mengejar nafsu yang membakar waktu hingga abu.
Ketika nafas terakhirnya lepas, di bawah langit Montevideo yang menangis deras, tanah di lahan kecil itu berguncang, seolah menjerit kehilangan anaknya. Air hujan bercampur air mata langit, membasahi tanah yang kini meratap. Manuela menggonggong, suaranya pecah, memanggil tuannya yang tak lagi menjawab, lalu meringkuk di sisi cangkulnya, menangis dalam cara anjing menangis. José Mujica telah pergi, menyatu dengan angin, dengan tanah yang ia cintai, dengan air mata yang ia tabur bersama mimpi-mimpi perjuangannya. Di kejauhan, suara ibunya terdengar, lembut seperti pelukan tanah, “José, air matamu telah menanam keadilan di hati dunia, anakku. Kini pulanglah, istirahatlah dalam pelukanku.”
Dunia terdiam, menunduk dalam duka yang menggigit, meratapi lelaki yang tak pernah memiliki banyak, tapi memberi segalanya. Di lahan kecil itu, tanah bernyanyi pelan, bunga-bunga yang ia tanam bermekar lebih terang, kelopak-kelopaknya gemetar di bawah hujan, seolah bersumpah untuk menyanyikan kisahnya—kisah pejuang yang hidupnya adalah air mata, yang perjuangannya adalah cinta abadi untuk rakyat—pada angin, pada bintang, pada hati setiap anak manusia, selamanya.