KELAM Jakarta yang meratap, di mana jalanan menabuh elegi dan debu menari-nari dalam pelukan bayang, seorang lelaki Harry Wibowo—yang oleh banyak sahabat dipanggil Harwieb—duduk di bawah selimut cahaya yang menangis. Di hadapannya, kertas-kertas tua bersenandung, berbisik tentang luka yang tak pernah sembuh, dan secangkir kopi pahit menjaga rahasia malam yang kelu. “Sejarah adalah denyut jantung yang tak pernah diam,” katanya, suaranya bagai embun yang jatuh, lembut namun menusuk hingga ke tulang.
Harwieb lahir ketika bumi Indonesia masih bergoyang, mencari napas di antara puing-puing mimpi kemerdekaan. Di Institut Teknologi Bandung, tempat ia menempa ilmu, ia bukan sekadar pemuda yang membaca buku. Ia adalah angin yang menyapu, lembut namun mampu mengguncang pohon-pohon kekuasaan Orde Baru. “Kebenaran adalah nyanyian yang harus dilantunkan,” bisiknya pada seorang kawan, matanya berkilau seperti danau di bawah bulan purnama, tangannya memeluk cawan seolah dunia bisa dipeluk dengan kata-kata.
Lorong itu, lorong sunyi yang ia jelajahi dengan hati telanjang, adalah kuilnya. Bersama Jurnal Prisma, ia menenun dari darah dan air mata. Jurnal itu bukan kertas belaka; ia adalah cermin yang memantulkan tangis buruh, derap langkah rakyat miskin, dan luka 1965 yang masih menganga bagai jurang.
“Ini genosida,” nyanyiannya di suatu senja, di hadapan jiwa-jiwa yang mendengar dengan hati, “serupa ratap Armenia, namun kita menutup telinga.” Suaranya adalah aliran air di batu karang, tenang namun menghanyutkan, merobek tabir kebohongan dengan kelembutan yang mematikan.
Tragedi 1965/66 adalah bayang yang menari di relung jiwanya, menjelma puisi yang tak pernah selesai. Ia tak hanya melihatnya dengan mata, tetapi merasakannya dengan napas. Bersama banyak kawan dan komunitas pendamping korban, ia berjalan di sisi mereka yang dilupakan—manusia-manusia yang kehilangan pelukan, anak-anak yang dirampas nama, dan jiwa-jiwa yang diasingkan oleh waktu. Ia tak menggenggam obor di jalanan, tak menyanyikan lagu perang. Tetapi di bilik-bilik kecil, di bawah nyala lampu yang merindu, ia menabur bunga-bunga harapan: bahwa kebenaran, seperti bintang di malam kelam, akan selalu bersinar.
IPT 1965 nama yang bergema seperti doa di antara aktivis, adalah nyanyian di sela-sela angin malam, mengumpulkan serpihan sejarah 1965, merangkainya seperti mozaik yang retak namun penuh makna. Harwieb di sana, ia merindu cermin yang tak bisa berbohong, yang mencatat denyut bangsa. “Sejarah harus punya wajah, harus punya nyanyian, yang menjaga luka agar tak hilang ditelan malam."
Ketika Belok Kiri Festival mengalir bagai sungai, menyanyikan 1965 di Taman Ismail Marzuki, Harwieb ada di sana, menari di antara kata-kata seniman dan aktivis. Ketika polisi dan ormas memadamkan nyala itu, memaksa mereka bersemayam di gedung YLBHI, ia tersenyum, pahit bagai kopi tanpa gula. “Mereka bisa membungkam suara, tetapi tak bisa memenjarakan jiwa,” bisiknya, dan di gedung YLBHI, tempat ia sering menabur puisi, ia melihat bunga-bunga kebenaran tetap mekar di tanah yang gersang.
Di Beranda Rakyat Garuda, Harwieb selalu melangkah ke sana, gagasannya menari, menyatu dengan kepulan asap dan seniman aktivis. Diskusi adalah nyanyian yang ia kenali—tentang luka yang bernyanyi, tentang harapan yang menari, tentang kebenaran yang tak pernah diam. Ia hadir untuk menjadi bagian dari puisi itu; kata-katanya telah menjadi angin, membawa benih ke tanah-tanah jauh.
Lorong sunyi itu, bagaimanapun, adalah pelukannya yang setia. Matanya memancarkan cahaya bulan yang retak. Ia tak mencari gemuruh tepuk tangan, tak merindu mahkota kemenangan.
Pagi ini, 19 Mei 2025, pukul 04:06 WIB, angin berhenti bernyanyi untuk Har Wib. Di Jakarta, di bawah langit yang masih bermimpi, ia menutup mata, meninggalkan Niken, istrinya, dan putra-putrinya, dalam pelukan embun duka. Air mata sahabat mengalir bagai hujan yang merindu bumi. Tetapi Harwieb tak pernah benar-benar pergi. Kertas-kertasnya masih bersenandung, gagasannya masih menari, dan lorong sunyi itu kini diterangi oleh nyanyian mereka yang mendengar bisiknya.
Gambar: Yayak Yatmaka