DI ujung Kedungwuni, desa yang terkurung rawa dan sawah, Sarman berdiri dengan cangkul yang gemetar di tangan, seolah memeluk luka yang tak pernah ia ucapkan. Langit Jawa Tengah kelabu, embunnya seperti air mata Tuhan yang menangisi anak-anaknya yang kelaparan. Cangkul itu tua, retak seperti tangannya yang penuh kapalan, seperti hatinya yang telah remuk oleh tiga puluh tahun menggarap tanah—tanah yang bukan miliknya, tanah yang mencuri napas, mimpinya, dan cahaya di mata anak-anaknya.

Di kejauhan, gunung kecil menjulang, diam seperti ibu yang tak mampu menghibur anaknya yang menangis. Sarman bukan pemimpi besar, tapi di relung jiwanya yang lelah, ia merindukan hari ketika Minah, anak bungsunya, tak lagi batuk di malam dingin, ketika Siti, istrinya, bisa tersenyum tanpa beban luka yang menghimpit dadanya.

Malam itu, di balai desa yang berdinding bambu rapuh, lampu minyak berkedip lembut, seperti nyala harapan yang takut padam. Sukardi, pemuda yang pulang dari kota dengan mata penuh bintang, berdiri di tengah petani-petani yang wajahnya penuh bekas keringat dan air mata. Topi merahnya dengan lambang Barisan Tani Indonesia, menyala seperti doa di tengah kegelapan.

“Tanah untuk kita!” serunya, suaranya lembut namun mengguncang, seperti lagu yang memanggil jiwa-jiwa yang lelah.

“Reforma agraria akan membebaskan kita! PKI akan membawa keadilan untuk anak-anak kalian yang lapar!”

Kata-kata itu asing di telinga Sarman, tapi setiap suku katanya membelai hatinya, membangunkan mimpi yang selama ini ia kubur di bawah tumpukan keputusasaan. Ia memandang Minah, yang tertidur di pangkuan Siti, wajahnya pucat bagai bulan yang meredup, batuknya seperti bisik kematian. Ia membayangkan sawah yang ia garap dengan darah dan air mata menjadi milik Minah, milik anak-anaknya yang tubuhnya kurus seperti daun kering. Air mata menggenang di matanya, tapi ia menahannya, tak ingin Siti melihat luka di jiwanya.

Siti duduk di sisinya, memeluk Minah dengan kelembutan seorang ibu yang tak pernah menyerah. Matanya adalah lautan—penuh cinta, ketakutan, dan harapan yang rapuh seperti kelopak bunga di ujung musim.

“Man,” bisiknya, suaranya lembut namun penuh isak yang tersembunyi, “benarkah kita bisa punya tanah? Benarkah Minah bisa hidup, bisa tertawa seperti anak-anak lain?”

Sarman memegang tangan Siti, dingin seperti embun pagi, gemetar seperti doa yang tak yakin akan didengar. Ia ingin menjanjikan dunia, ingin berkata bahwa Minah akan berlari di sawah tanpa batuk, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, seperti air mata yang tak mampu jatuh. Di hatinya, harapan itu seperti bunga kecil di tengah badai—indah, namun rapuh, siap layu kapan saja.

Desa itu berubah, seperti hati yang mulai berdetak setelah bertahun-tahun mati. Bendera merah dengan sabit dan palu berkibar lembut di ujung gang, seperti pelukan bagi jiwa-jiwa yang lelah. Lagu-lagu Lekra mengalun di malam yang dulu sunyi, liriknya penuh cinta dan mimpi tentang tanah yang subur, tentang dunia di mana anak-anak tak menangis lapar. Sarman ikut rapat-rapat BTI, meski kata “komunisme” terasa seperti bisik asing yang penuh janji. Ia tak peduli ideologi; ia hanya tahu tangis Minah yang menghancurkan hatinya setiap malam, tahu luka di tangan Siti yang berdarah karena mencuci baju tuan tanah, tahu tatapan tuan tanah yang merendahkannya seperti debu.

“Kau akan punya sawah, Man,” kata Sukardi suatu malam, tangannya memeluk bahu Sarman dengan hangat, matanya penuh kasih seperti kakak pada adik.

“Minah akan sekolah, akan jadi orang besar, bukan kuli seperti kita.”

Sarman memandang Sukardi, dan untuk sesaat, hatinya terasa ringan, seolah dunia yang selama ini menghimpitnya telah membuka pintu kecil, membiarkan sinar masuk ke jiwanya yang gelap.

Tapi desa itu juga mulai retak, seperti hati yang terbelah oleh ketakutan. Di masjid, Kiai Hasan berkhotbah dengan suara yang mengguncang, jenggotnya yang putih bergetar seperti nyala api. “Komunisme adalah dosa!” serunya, matanya penuh murka yang membakar. “Mereka akan mencuri tanah, mencuri Tuhan, mencuri jiwa anak-anak kalian!”

Petani-petani yang dulu bersorak untuk PKI kini menunduk, wajah mereka pucat, hati mereka terombang-ambing antara harapan dan ketakutan. Sarman terperangkap di tengah, jiwanya seperti burung kecil yang sayapnya patah. Ia ingin percaya pada Sukardi, pada tanah untuk Minah, tapi kata-kata Kiai seperti pisau yang mengiris hatinya, membuatnya takut pada Tuhan, takut pada dosa, takut pada malam yang kini terasa seperti pelukan maut. Siti memegang tangannya di malam yang dingin, air matanya membasahi pipinya sendiri.

“Aku cuma ingin Minah hidup, Man,” isaknya, suaranya seperti lagu yang patah. “Aku tak peduli siapa yang benar, asal anak kita tak mati di pelukanku.”

Lalu datang malam itu, Oktober 1965, malam yang merobek jiwa Kedungwuni hingga ke akar-akarnya. Berita dari kota datang seperti badai yang menghancurkan langit: ada kudeta, kata mereka, dan PKI yang disalahkan. Tentara-tentara dengan sepatu besi dan senapan dingin seperti kematian membanjiri desa, membawa kemarahan yang seolah lahir dari lubuk neraka.

Sukardi, pemuda yang membawa harapan seperti bintang di malam gelap, ditarik dari rumahnya di tengah malam. Jerit ibunya mengoyak langit, seperti tangis seluruh ibu di dunia yang kehilangan anak. “Kembalikan anakku!” jeritnya, suaranya menghantam hati Sarman seperti palu, membuat dadanya sesak, seperti akan pecah.

Sarman bersembunyi di gubuknya, memeluk Siti dan Minah, tubuhnya gemetar seperti daun yang diterpa angin kematian. Minah menangis pelan, batuknya seperti doa yang tak sampai, setiap helaan napasnya seperti pisau yang menusuk jantungan Sarman. Siti memeluknya erat, air matanya mengalir seperti sungai, matanya kosong seperti jiwa yang telah direnggut.

Di luar, langkah sepatu tentara bercampur dengan jerit dan tangis. “Komunis! Pengkhianat!” teriak mereka, setiap kata seperti cambuk yang merobek kulit jiwa Sarman.

Ia menutup telinga Minah, mencium keningnya yang panas, berbisik, “Jangan takut, Nak,” meski hatinya sendiri hancur oleh ketakutan.

Pagi harinya, sawah yang dulu ia garap dengan cinta kini menjadi lautan darah. Bukan darah padi yang dipanen, tapi darah manusia—darah Sukardi, darah tetangga, darah harapan yang kini remuk seperti kaca di bawah kaki. Tubuh-tubuh terbaring di parit, wajah mereka membeku dalam kengerian, mata mereka menatap langit seolah bertanya pada Tuhan mengapa Ia diam.

Siti menangis tanpa suara, memeluk Minah yang kini lemah, napasnya seperti benang tipis yang siap putus. Sarman berdiri di depan gubuknya, cangkul di tangan, tapi kakinya lumpuh, hatinya seperti terkubur hidup-hidup. Ia memandang tanah, tanah yang tetap bukan miliknya, tanah yang kini basah oleh air mata dan darah, tanah yang seolah menertawakan penderitaannya. Jiwanya remuk, setiap serpihannya adalah wajah Sukardi yang penuh kasih, wajah Minah yang pucat bagai bunga yang layu, wajah Siti yang kini kosong seperti malam tanpa bintang.

Malam itu, di bawah langit yang gelap tanpa cahaya, Sarman duduk di beranda gubuknya, tubuhnya seperti cangkang yang ditinggalkan jiwa. Siti tertidur dengan Minah di pangkuannya, wajahnya penuh luka yang tak terlihat, napasnya tersendat oleh isak yang tak lagi bersuara. “Apa salah kita, Man?” bisiknya sebelum tertidur, suaranya seperti lagu yang patah, seperti doa yang terkoyak angin. “Apa salah Minah yang cuma ingin hidup? Apa salah kita yang cuma ingin mencintai anak kita?”

Sarman tak menjawab. Air mata akhirnya jatuh, membakar pipinya yang kasar, menetes ke tanah yang tak pernah peduli, seperti darah dari hati yang telah mati. Ia memandang ke arah sawah, ke arah bendera sabit yang kini robek, diterpa angin seperti jiwa yang terkoyak-koyak. Di hatinya, ia menjerit hingga tenggorokannya berdarah: apakah harapan itu dosa? Apakah cinta untuk anaknya adalah pengkhianatan? Apakah Tuhan juga memalingkan muka dari tangis mereka yang lapar? Tapi tanah itu diam, seperti selalu, menyimpan rahasia luka yang tak akan pernah sembuh.

Keesokan harinya, Sarman kembali mencangkul, seperti dulu, seperti selalu, meski setiap gerakan terasa seperti menikam hatinya sendiri. Setiap cangkulan yang menancap ke tanah adalah tangis yang tak terucap, adalah kubur untuk Sukardi, untuk harapan, untuk Minah yang kini terbaring lemah di gubuk, batuknya seperti lonceng kecil yang memanggil maut.

Siti memandangnya dari kejauhan, matanya kosong, seperti telah kehilangan segalanya—harapan, cinta, bahkan dirinya sendiri. Sarman berhenti sejenak, memandang Minah yang tersenyum lemah kepadanya, tangan kecilnya menggapai seperti ingin memeluk dunia yang telah menghianatinya.

Air mata Sarman jatuh lagi, menetes ke tanah, dan ia berbisik, “Maaf, Nak. Maaf karena Ayah tak bisa menyelamatkanmu.”

Dan dengan setiap cangkulan, ia merasa dirinya terkubur hidup-hidup, di bawah bayang-bayang bintang sabit yang kini lenyap, meninggalkan luka yang mengalir seperti sungai air mata, tak pernah kering, tak pernah reda.