+62 812 245 6452
Your shopping cart is empty!
PADA 5 Oktober 1965, di jalan menuju alun-alun Kawedanan Menes, Pandeglang, hidup saya berubah selamanya. Saya, seorang petani sederhana dan aktivis organisasi tani di Banten, ditangkap polisi saat hendak menghadiri peringatan ulang tahun ABRI. Itulah awal dari rangkaian penahanan, penyiksaan, dan pembuangan yang membentang selama 14 tahun—dari Penjara Pandeglang, transit di Bandung, Nusakambangan, hingga Unit Ronggolawe di Pulau Buru. Buku ini, Dari Pandeglang ke Pulau Buru: Menapak Jalan Pembuangan, Menanti Keadilan, adalah catatan langsung dari pengalaman itu, ditulis dengan tangan yang masih menyimpan bekas luka fisik dan jiwa.
Di Penjara Pandeglang, saya menyaksikan ratusan tahanan sesak di kamar sempit, makan tiga sendok nasi dengan kangkung rebus, dan mendengar jerit malam dari ruang penyiksaan. Saya sendiri mengalami pemukulan brutal, dipaksa mengakui tuduhan palsu tentang keterlibatan PKI dalam pembunuhan jenderal-jenderal. Di Pulau Buru, kami dipaksa membuka hutan, membangun unit pemukiman, dan bekerja paksa tanpa upah—semua atas nama "rehabilitasi" yang tak pernah ada.
Buku ini bukan sekadar kisah pribadi. Ia adalah suara dari ribuan eks-tapol yang dibungkam selama Orde Baru: petani, buruh, guru, dan rakyat biasa yang dituduh tanpa bukti, disiksa tanpa proses hukum, dan dibuang tanpa harapan. Saya menulisnya untuk mengungkap kebenaran yang selama puluhan tahun disembunyikan—bahwa G30S tidak lain adalah bagian dari skenario kekuasaan yang menghancurkan Bung Karno dan pendukungnya. Seperti yang saya alami, pembebasan pada 1979 datang dengan cap "ET" di KTP, laporan wajib mingguan, dan pengawasan abadi.
Hari ini, di usia lanjut, saya masih menanti keadilan: rehabilitasi nama baik, pengakuan negara atas pelanggaran HAM berat 1965-1966, dan permintaan maaf resmi. Semoga buku ini menjadi batu loncatan menuju rekonsiliasi nasional.