Info Kegiatan

 
 

Oleh: Saiful Haq

Tentang Samsir Muhammad, Angkatan 45: Tiga orde Tiga penindasan

Waktu itu tahun 2002 peluncuran buku Chaerul Saleh di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta, aku tidak diundang, tapi karena Chaerul adalah teman dekatku, maka aku memaksa datang untuk sekedar beromantisme dengan masa laluku dengan almarhum. Tiba di depan pintu, “tidak boleh masuk pak kalau tidak memiliki undangan” tegur seorang wanita dengan hormat dan sopan. “Aku ini dari jauh nak, dari pinggiran Bandung” aku mencoba menjelaskan. “Tapi tetap saja tidak boleh masuk pak” sambung perempuan itu masih dengan nada hormat. Dari belakang tiba-tiba terdengar suara berat dan tegas, “datang dari jauh membawa diri yang tua, apa kabar Bung??”.

Aku menoleh dan ternyata kawan lamaku Kusnandar yang datang dan langsung memelukku dengan hangat. “Sudah lama sekali, mari masuk bersamaku Bung, kawan-kawan satu per satu sudah pergi, we are the last of Mohichans”. Yang dimaksud olehnya adalah kawan-kawan kami dari Divisi atau Brigade Bambu Runcing, dan hanya kami berdua yang tersisa. Kusnandar menyamakan kami berdua sebagai the last of Mohichan, sebab Mohichan adalah suku Indian terakhir yang terus diburu oleh orang-orang pendatang di Amerika. Seperti Mohichan kami terus dikejar-kejar, baik ketika oleh Jepang, Belanda di zaman perang kemerdekaan, ataupun oleh Soekarno ketika kami menentang perjanjian Renville, terakhir di era orde baru, oleh Soeharto aku dipenjarakan selama 17 tahun.

Aku dilahirkan pada tanggal 30 Mei 1926 di Sungai Puar Bukit Tinggi, sebuah kampung di kaki gunung Merapi, ayah dan ibuku sudah bercerai ketika aku lahir, setelah aku lahir ibuku kemudian menikah kembali. Aku hijrah ke Jawa Barat untuk bersekolah. Tahun 1942 Jepang mendarat di Banten dan mengusir Belanda dari Indonesia, aku di Bandung waktu itu. aku tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Keinginanku untuk bergabung dengan perjuangan nasional Indonesia bermula dari persahabatanku dengan Ali Basyah seorang karyawan Kereta Api pada awal tahun 1940, kami berdua sering mendengarkan siaran radio gelap, dari sana semangat Anti Jepang terbentuk dalam diriku.

Aku menolak bergabung dengan laskar-laskar yang dibentuk Jepang waktu itu, tapi suatu hari aku diciduk juga oleh tentara Jepang, karena waktu itu Jepang sangat membutuhkan tambahan pasukan, dan seluruh pemuda kemudian dilatih paksa oleh Jepang untuk berperang bersama mereka. Itulah masa pertama kali aku terlibat dengan organisasi resmi, aku bergabung dengan pemuda-pemuda lainnya dalam barisan Seinendan. Disana kemudian aku banyak kenal dengan pemuda-pemuda lainnya, dari sana pula aku bisa dekat dengan Hasan Gayo, Kusnandar dan Chaerul Saleh.

Tahun 1944, pecah insiden pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Soerjadi terhadap Jepang di Blitar, setelah insiden itu semangat anti Jepang berkobar dimana-mana, terutama dikalangan pemuda. Pemuda-pemuda seperti Soekarni, Dwikana, Chaerul Saleh, Kahar Muzakkar kemudian menjadi ujung tombak perlawanan terhadap Jepang. Mereka inilah yang juga kemudian menekan Bung Karno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. September 1945 setelah Proklamasi pemuda menyadari kebutuhan dibentuknya Tentara Nasional.

Chaerul Saleh, Pandu Kartawiguna, dan Hanafi kemudian menghadap Amir Syarifuddin yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan. Namun kami kemudian menjadi sangat kecewa ketika pada tanggal 5 Oktober 1945 Bung Karno mengumumkan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat. Kekecewaan memuncak setelah Perundingan Linggarjati tahun 1946, kami menolak hasil perundingan Linggarjati dan sebagai akibatnya oleh Soekarno Laskar Rakyat kemudian dibubarkan dan kami semua menjadi buron oleh pemerintah republik. Aku waktu itu kemudian bergabung dengan kelompok Menteng 31.

Dikejar Soekarno

Tahun 1947 Belanda melakukan Agresi, kami yang dulunya dibubarkan kemudian direhabilitasi kembali oleh pemerintah republik ke dalam tubuh TNI, tapi menjadi Brigade atau divisi bambu runcing. Seluruh pasukan yang terpecah akhirnya waktu itu dipusatkan di Ciwaru bagian selatan Cirebon, Tahun 1948 terjadi perundingan Renville yang ditandatangani oleh Amir Syarifuddin yang mengharuskan penarikan seluruh pasukan TNI dari kantong-kantong gerilya. Divisi Bambu Runcing dengan tegas menolak perjanjian itu, akhirnya pecah insiden Ciwaru antara pasukan TNI yang berasal dari Jawa Tengah dengan Divisi Bambu Runcing yang bermarkas di Ciwaru.

Kembali kami menjadi buron hingga pada tanggl 19 Desember 1949 Belanda menduduki Yogyakarta, Bung Karno dan Bung Hatta ditahan Belanda. Seluruh kekuatan laskar rakyat dan TNI kemudian bersatu kembali untuk merebut kembali Yogyakarta dan menuntut pembebasan Bung Karno dan Bung Hatta. Singkat kata mereka berdua dibebaskan hingga kemudian padat Tahun 1950 diadakan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB), namun Chaerul SDaleh dkk. menolak hasil KMB dan membentuk Tentara Rakyat. Setelah itu kami kembali menjadi buron pemerintah republic, dan pada tahun itu pula saya memutuskan berhenti dari ketentaraan.

Saya kemudian ikut mendirikan Sarikat Tani Indonesia (SAKTI) pada tahun 1951 di Jakarta, ini disebabkan ketika perang gerilya kami banyak bersentuhan langsung dengan para petani miskin dan tak bertanah. SAKTI waktu itu berkembang pesat, pada tahun 1952 diadakan Konferensi Nasional SAKTI yang pertama dan Sidiq Kerta Pati terpilih sebagai ketua. Aku kemudian mencurahkan perhatian pada organisasi baru ini, SAKTI kemudian banyak terlibat dalam berbagai aksi dengan semboyan Tanah untuk Rakyat.

Tahun 1953 kantor SAKTI pindah ke Bandung dan disana kemudian ikut membidani lahirnya Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Bandung, setelah kantor SAKTI kembali dipindahkan ke Jakarta, IPI kemudian bergerak independent dan semakin mendekat ke PKI. Saya sendiri pada tahun 1955 masuk ke konstituante untuk menggantikan Mr, Yusuf yang wafat. Berkat kemampuan Aidit, melalui Referad Aidit tentang gerakan tani (RII/RTI) maka pada bulan Agustus tahun 1957, SAKTI kemudian meleburkan diri ke Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi binaan PKI. Karena tahun 1960 setelah pembubaran konstituante oleh Soekarno saya masuk menjadi anggota badan MPRS maka hingga tahun 1962 saya tidak mempunyai fungsi yang jelas di BTI, nanti pada Kongres BTI akhir 1962 saya kemudian diangkat menjadi Sekertaris Umum BTI.

Dipenjarakan Soeharto

Setelah meletus peristiwa G 30 S tahun 1965, keadaan politk benar-benar berubah, Soharto kemudian naik menjadi Presiden RI mandataris MPRS, dan melantik diri menjadi panglima tertinggi TNI. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan pembantaian jutaan orang yang dituduh terlibat dalam gerakan itu, PKI dan ormas-ormasnya kemudian dituding sebagai dalang dibalik peristiwa itu. Seluruh anggota PKI ataupun non PKI dikejar dan dibunuh, yang beruntung hanya ditahan dan sebagian diasingkan ke pulau Buru. Pada tahun 1967 saya ditahan dan dipenjarakan, tahun 1977 saya di pindahkan ke pulau Buru dan kemudian baru pada tahun 1979 saya dibebaskan dan kembali ke Bandung.

Sepulang saya dari pulau Buru saya merasa terasing, hanya lagu Ebiet G. Ade yang sedikit menghiburku, saya pernah menulis sebuah surat untuk Ebiet, didalamnya saya menyatakan terima kasih saya, sebab lagunya betul-betul menemani saya melewati masa-masa sulit. “Kemanakah perginya nurani embun pagi, ….sedang Tuhan diatas sana tak pernah menghukum”.

Saya merasa bersalah, sebab saya tidak mampu berbuat yang terbaik bagi negeri ini, kisah ini hanyalah sebuah romantisme kegagalan, gagal mengawal kemerdekaan, gagal menjaga republik ini, saya tidak punya keinginan apa-apa lagi, semoga hukuman saya selama 12 tahun bisa menebus itu semua, tapi kalaupun tak cukup, saya siap menanggungnya di akhirat nanti.

Tulisan ini dibuat berdasarkan hasil wawancara 13 jam dengan Samsir Muhammad, di toko buku Ultimus Bandung, September 2006.

Sumber: saifulhaq.com - 22 Februari 2007


Artikel & Tinjauan Buku