Info Kegiatan

 
 

Oleh Gusnita Linda

Perjalanan itu baiknya memang diceritakan. Bukan buat narsis, juga bukan buat nostalgia. Tetapi agar bisa memahami sejarah diri sendiri dan tapak kaki yang telah berjalan.

Tidak terlalu jauh, tetapi cukup memberikan pelajaran yang berharga. Pemacu semangat, serta ladang untuk introspeksi diri.

Semisal dengan pengalaman saya bersama buku. Bukan hari ini saja saya berjualan buku. Jauh di masa sekolah dulu, ketika di SMU 10 Padang, saya dan seorang teman bernama Rina jualan majalah ANNIDA dan TARBAWI. Pada waktu itu, saya aktif berorganisasi di Rohis SMU 10  Padang. Saat saya kelas dua dan tiga SMU, sekitar tahun 2002-2003. Tujuan saya dan Rina tidak muluk, kami menginginkan kawan-kawan di sekolah, ‘melek’ membaca dari majalah islami yang bagus. Tidak dipungkiri, kami mendapatkan tambahan uang jajan dari sana. Meskipun untuk modal, teman saya Rina yang memodali. Saya hanya membantu menjualkan dan menemaninya menjemput majalah ke agen.

Saya salut terhadap kemauannya berjualan. Padahal bisa dikata orangtua Rina sangat mampu membiayai dia bersekolah. Pada waktu kelas dua SMU itu, saya dan Rina juga berjualan kue-kue. Dalam satu hari, kami membawa 60-70 kue. Kami bagi dua dan dijual di kelas masing-masing. Saya dan Rina beda kelas. Keuntungan satu kue adalah Rp. 100,-. Jadi keuntungannya sekitar Rp 6.000-Rp 7.000 dalam satu hari. Keuntungan kami bagi dua dan ditabung. Pada saat itu, saya tahu artinya mencari uang. Tidak mudah untuk mendapatkan uang seratus rupiah ternyata. Dari tabungan menjual kue itulah saya dapat membeli majalah dan buku yang saya mau.

Pada masa sekolah itu juga, saya belajar dari Rina untuk membuat acara dengan didampingi bazaar buku. Saya kaget dengan ide dia dan teman-teman pada waktu itu. Anak SMU bikin acara peringatan Maulid Nabi dengan mengajukan permintaan kepada Gramedia untuk berjualan buku diskon di acara kami. Acara yang kami buat sangat meriah. Selain itu, dari proposal yang dijalankan, kami mendapat sisa uang acara untuk tabungan organisasi. Padahal pihak sekolah tidak memberikan bantuan dana. Saya dapat belajar banyak bagaimana kegiatan organisasi bisa berjalan baik, serta mampu mendatangkan uang untuk organisasi. Mengingatnya memang sangat mengasikkan. Kerja tim yang solid. Hal itu tidak bisa saya lupakan.

Sejak saat itu saya tergila-gila berorganisasi. Tergila-gila bekerja bersama-sama. Belajar banyak hal bersama. Membuka peluang untuk diri sendiri berkembang dan menyerap hal positif dari orang-orang sekitar. Beberapa kegiatan berkelompok saya ikuti setelah tamat sekolah. Sampai akhirnya harus cukupkan dulu untuk kegiatan berkelompok di tahun 2011 kemarin.

Saya mulai mencari alternatif untuk mengembangkan diri dan mencari ilmu dari banyak hal. Saya buka mata dan telinga. Saya puaskan mengamati kota-kota yang saya datangi pada Februari – Juni 2011. Pada saat itu saya ditemani teman dekat saya, Denai, mengunjungi pameran buku di Landmark, Bandung. Saya kaget melihat pameran buku di sana. Bukan hanya karna koleksinya saja yang banyak, tetapi juga karna harganya yang sangat miring sekali. Stres dan keringat dingin keluar. Uang di kantong hanya cukup membeli buku untuk melengkapi bahan skripsi. Sementara itu banyak buku dengan tema-tema yang saya sukai. Buku sastra, sejarah, gender, politik, novel, Minangkabau, filsafat, teater, televisi dan  film.  Buku-buku jadul pun semuanya ada. Oh, no!!!

Saya terdiam begitu lama menyaksikan semua stan buku itu. Denai tertawa melihat saya yang tiba-tiba diam menyaksikan orang-orang membawa banyak jinjingan. Jinjingan berisi buku-buku. Saya dikenalkan ke beberapa penerbit kenalannya, saya cuma bisa bilang “Halo…”. Lidah saya terlalu kelu untuk berbicara banyak. Kami bertemu dengan beberapa temannya yang juga sedang hunting buku-buku bagus. Obrolan mereka soal buku baru, isu terbaru mengenai buku yang sedang diperbincangkan dan diskusi-diskusi buku yang akan datang.

Saya lihat semua orang sibuk mencari buku yang ada di tumpukan stand-stand. Lalu saya diajak ke stan Yusuf Agency. Kata Denai, Yusuf Agency ini menjual buku dengan harga murah sekali. Dia pernah membeli buku yang judulnya Filosofi Catur dengan harga Rp. 20.000. Padahal kalau di toko buku harganya sekitar dua ratus ribuan. “Uniknya, kalau si bapak yang punya itu ada di stand, dia akan nimbang pakai tangan saja buku yang kita tawar. Kemudian dirasa-rasakannya berat buku itu dan disebutkan harganya,” lanjutnya.

Semakin penasaran. Benar sekali, semua orang sibuk mengubek-ubek buku yang disusun di rak dan di lantai. Saya lihat mereka sangat antusias mendapatkan buku-buku bagus dengan harga murah. Bukunya asli, bukan bajakan, ini pula yang lebih oke. Sayang sekali si bapak tidak jaga stand. Saya dan Denai tidak mau ketinggalan mencari buku. Ketika saya membaca sebuah judul buku di salah satu rak, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang, buku itu langsung direbut Denai.

“Wahh, curang!” Saya kaget.

“Ini buku sudah lama dicari nih,” ucap Denai dengan cengengesan.

“Kan aku duluan yang lihat,” sambil kesal. Karna tahu itu buku wajib jika ingin tahu banyak mengenai Minangkabau.

”Eh, ada lagi nih,” Denai berusaha menghibur. Tapi benar. Ada dua buku yang sama lagi. Akhirnya dengan harga Rp. 20.000, buku dengan warna sampul hijau itu masing-masing kita bawa. Eits, ada lagi buku lama terbitan Gramedia. Judulnya Kumpulan Karikatur-Karikatur Pramono Dari Tahun 1970 – 1981, harganya cuma Rp. 10.000. Asyiikk!

Kami pulang dengan tas yang berat karna buku-buku dari Yusuf Agency, Yayasan Obor Indonesia dan Lawang Buku. Tas berat, dompet menjadi sangat ringan. Huhuhu, hati senang dan teriris. Senang karna dapat banyak buku bagus, tapi teriris karena tidak menemukan hal seperti ini di kampung halaman tercinta, Kota Padang.

Dari landmark, kami teruskan ke penerbit, toko buku dan komunitas, ULTIMUS di jalan Rangkasbitung No. 2A Bandung. Di sana Denai bekerja sebagai editor dan pengelola toko buku bersama Bilven. Saya dikenalkan dengan Bilven, Direktur Ultimus dan salah satu pendirinya. Masih muda, kelahiran November 1978. Sudah menamatkan S2 Teknik Industri ITB sejak beberapa tahun yang lalu. Tetapi belum pernah menggunakan ijazahnya untuk melamar pekerjaan.  Saat ini yang total mengurusi Ultimus ya Denai dan Bilven. Kembali saya ternganga di sana. Banyak buku. Pengelolanya orang muda yang bertahan setelah teman-temannya pergi mencari penghidupan lain. Dia bertahan dan tetap bertahan menerbitkan buku-buku bagus.

Rumah kontrakan yang disulap menjadi toko buku ini sangat istimewa sekali kelihatannya. Halaman depan yang rindang dipenuhi dengan tempat duduk yang dibuat lesehan. Dua ruangan (ruang tamu dan ruang tengah) dijadikan toko buku. Dindingnya tertutupi dengan rak-rak buku sederhana. Satu kamar dijadikan perpustakaan. Saya menemukan banyak sekali koleksi buku lawas dan bagus-bagus di perpustakaannya. Satu kamar berukuran 3×3 m untuk kantor Bilven. Di sana juga Bilven tidur. Tidak ada kasur, yang ada hanya locker, meja kerja, laptop, televisi, satu sofa dan meja tamu. Nah, di sofa itu lah saya lihat Bilven tidur setiap harinya. Padahal ada satu kamar yang dijadikan tempat tidur tamu. Dengan ranjang dua tingkat. Tentunya ada kasurnya yang empuk, selimut tebal dan bantal. Di situlah saya tidur bersama tamu perempuan lainnya (jika ada). Satu kamar lagi dijadikan gudang tempat penyimpanan stock buku dan barang-barang. Di halaman samping Ultimus, ada bale-bale yang dibuat seadanya untuk tamu menginap juga jika kamar tidak cukup.

Saya semakin kagum. Layanan hotspot dan secangkir kopi Aroma disediakan gratis untuk menikmati obrolan dari tamu yang setiap harinya datang ke Ultimus. Tetamu itu juga tidak selalu membeli, kadang hanya sekedar berbincang. Kadang penulis dan penyair yang pernah menerbitkan buku di ultimus datang dengan oleh-oleh di tangan. Satu waktu datang penulis buku Antropolgi Marx, Kapitalisme Sosiohistoris, dan Geneologi Kapitalisme, Dede Mulyanto. Pak Dede terbilang cukup muda, kelahiran 1970-an. Dosen Antropologi di UNPAD Bandung. Heran bercampur senang bertemu beliau. Masih muda, aktif menulis, punya wawasan yang luas dan sangat membumi. Ngobrol dengan beliau menyenangkan, menambah semangat untuk terus belajar.

Saya jadi berfikir, kenapa ya dosen-dosen di kampus saya tidak ada yang menulis buku dan dibaca oleh khalayak luas. Pak Dede bercerita jika saya ingin sharing mengenai Minangkabau, sastra dan budaya, bisa belajar banyak dengan Pak Watson. Katanya lagi, Pak Watson akan menjadi pembicara di peluncuran dan bedah buku Antropologi Marx-nya di Fakultas Antropologi UNPAD. Wahhh… kesempatan nih bisa main ke UNPAD, hehehe.

Saya datang bersama teman-teman dari beberapa kampus yang berbeda di Bandung. Berangkat bersama-sama dari Ultimus. Sesampai di ruangan diskusi, kami telat beberapa menit. Memang perjalanan ke Jatinangor terbilang cukup jauh. Peserta diskusinya ramai. Saking penuhnya, saya dan beberapa orang tidak mendapat tempat duduk. Waktu itu yang sedang berbicara adalah Prof. C.W. Watson yang diceritakan Pak Dede kemarin. Saya cukup kagum dengan keluasan ilmu beliau. Pak Watson seorang antropolog asal Inggris. Beliau banyak mengkaji kebudayaan di Indonesia, salah satunya Minangkabau dan sastranya.  Tak heran jika diskusi pada waktu itu sangat antusias dan ramai. Selesai acara, saya, Denai dan Fuad (panitia acara) mengantarkan Pak Watson beserta istrinya, ibu Martinah pulang ke rumahnya di daerah Sarijadi.

Sesampai di rumahnya, Pak Watson dan istri mengundang kami untuk minum teh. Saya dan dua orang yang bersama saya lirik-lirikan sewaktu Pak Watson menuangkan teh dan gula ke gelas kami masing-masing. Wah… luar biasa, seorang professor menuangkan teh kepada tamunya yang bukan siapa-siapa. Banyak cerita dan buku-buku yang disebutkannya. Beberapa buku koleksinya mengenai sastra dan sejarah Sumatera Barat (Sumbar) dikeluarkan. Beliau menyarankan kami untuk membaca dan mengoleksinya juga. Sebuah novel dari Sumbar yang disukainya adalah Bako (Novel pilihan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980-an), karya Darman Moenir. Beliau bahkan meminjamkannya untuk difotokopi. Pengalaman ngobrol dengan Pak Watson membuat saya lebih bersemangat untuk membaca buku.

Peluncuran dan diskusi buku Pak Dede juga diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Bandung. Saya ikut menemani Denai berjualan buku dan mendengarkan diskusinya. Di sana, saya melihat beberapa mahasiswa menjual buku juga, selain Ultimus dan Penerbit Kanisius. Banyak buku terbitan lama, tetapi isinya sangat bagus. Saya dapat buku Analisis Framing dengan harga Rp. 30.000 saja. Saya ngobrol dengan mereka. Ternyata sudah lama juga mereka melapak buku begitu. Mereka haunting buku di toko buku second dan di pameran untuk dijual kembali.

Bulan Maret 2011, saya ditemani Denai berangkat ke Yogyakarta. Saya harus magang selama dua bulan di Yayasan Kampung Halaman Jogja. Sebelum magang, saya sempatkan untuk jalan-jalan di kota Yogya dengan Denai. Kami wisata buku ke pusat toko buku diskon, Shoping. Tempat kios-kios buku yang sangat banyak. Buku lama, baru, bagus, murah, semuanya ada. Kembali saya pusing melihat banyak buku yang ada di sana. Uang untuk persedian dua bulan magang mulai menipis. Tetapi melihat buku-buku yang saya cari ada di sana, saya pun kembali kalap membeli buku. Sempat ngobrol dengan salah satu penjual buku di sana, seorang lelaki yang masih muda. Sepertinya lebih muda dari Denai. Dia memberitahu buku-buku bagus yang menjadi minat saya. Dia menyebutkan buku-buku yang saya cari itu kepada si bapak penjaga stand YOI di Bandung.

Saya jadi paham buku apa selanjutnya yang harus saya miliki setelah membaca buku itu. Saya bertanya pada si mas itu “Kok, Mas tau banyak sih soal buku? Emang dibaca semua ya buku-bukunya? Padahal yang saya cari itu kan buku-buku dari penulis luar semua, seperti Umberto Eco, Levi Strauss dan Simon De Buvoir.” Si Mas nya dengan kalem menjawab, “Saya harus paham dong dengan apa yang saya jual. Sebagian memang sudah saya baca kok. Saya gak mau nipu orang yang mau beli buku. Makanya saya selalu jelaskan bahwa buku yang ini, perbandingannya bisa dilihat di buku yang lain. Buku yang ini lebih bagus isinya daripada buku yang sebelahnya.” Nahh… jadi kagum dengan si Mas ini.

Saya keukeuh tanya lagi ke dia, “Emang, Mas dulu kuliah di mana? Terus kerjaannya selain ini apa?” “Saya dulu kuliah di IAIN Jogja. Kerjaan saya kalau malam ya menterjemah buku,” jawabnya sambil senyum. Makin salut nih sama si Mas. “Menterjemahkan buku dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia?” penasaran. “Iya ada juga yang dari Bahasa Jerman ke Bahasa Indonesia juga. Dari Bahasa Prancis ke Bahasa Indonesia juga ada,” dengan santai. Waahhh… pingsan deh. Hehehe…

Sebulan di Bandung ketemunya dengan buku dan orang-orang di balik buku. Di Yogya, ketemu hal yang sama. Magang di Kampung Halaman juga begitu. Bersyukur perjalanan kali ini menyenangkan. Di Kampung Halaman saya bertemu banyak sekali buku-buku bagus. Di sana saya juga bertemu dengan teman-teman pecinta buku. Salah satunya Andre, dia pendiri Kolam Bebek. Kolam Bebek adalan nama sebuah perpustakaan dan taman baca yang dirintis Andre untuk anak-anak dan remaja di sekitar rumah eyangnya di Desa Bebekan. Desa yang jauh dari pusat kota Yogja. Saya belajar banyak mengenai anak-anak pembaca buku dari Andre. Selain mas Zamzam, Mas Abu, Mbak Cici dan Mbak Dian, Andre banyak membantu saya untuk mengenali anak-anak, bagaimana berkomunikasi serta memahami anak-anak. Andre juga bercerita mengenai buku-buku bagus untuk anak dan bagaimana dia mendapatkan buku-buku itu. Ada yang memang dibelinya, ada yang dikirim sama teman-temannya di luar negri. Bahkan ada sumbangan dari beberapa toko buku dan kenalannya.

Selesai magang, saya sempatkan untuk kembali bertandang ke Bandung. Kebetulan Ultimus ikut pameran buku pada pesta buku kali ini di Gedung Landmark, Bandung. Saya ikut-ikutan menjaga stand buku ultimus bersama Denai dan Pak Didin. Menurut Denai, Pak Didin itu penjual buku. Beliau punya sejarah yang panjang dalam berjualan buku. Kerjanya ya bersama buku. Sudah punya juga buku tulisannya sendiri dalam Bahasa Sunda. Dia bercerita sedang menuliskan pengalamannya dengan buku dan kopi. Bertiga kami melayani pengunjung stand buku Ultimus dan menyapa setiap tamu yang datang. Mengasikkan, bosan duduk di stand, saya keliling untuk haunting buku. Kali ini pameran bukunya didominasi buku-buku Islami. Setiap hari saya selalu keliling untuk melihat stand yang ada. Ada juga salah satu stan yang menjual buku-buku impor. Bagus-bagus, tebal, hardcover dan harganya agak sedikit mahal. Satu hal yang saya ingat pada waktu itu, ketika seorang sastrawan datang ke stand Ultimus, ia kaget melihat harga buku yang sangat murah. Pada waktu itu, harga beberapa buku memang didiskon sampai 70%. Bapak itu komentar, “Ini gila banget bisa menjual buku bagus dengan harga lima ribu rupiah.” Lalu Denai menjawab sambil ketawa, “Kita menjual kertasnya aja kok, Pak. Ilmunya sih gratis.”

Saya ngiri melihat banyaknya akses ilmu pengetahuan di Bandung dan Yogya. Saya pikir, Jakarta mungkin lebih dari ini. Saya pernah mampir ke Gramedia pusat di Jakarta. Memang lengkap. Belum lagi toko buku dan lapak-lapak lainnya, tentu lebih banyak lagi. Sering sekali saya bercerita kepada Pak Dede dan Denai  atas keirian saya sama persebaran buku yang ada di Jawa. Mereka mengatakan, tidak hanya di Padang atau Sumbar saja yang begitu, katanya. “Kota-kota besar seperti Kalimantan, Makasar juga sama keadaannya. Yang terdekat, Semarang-lah, juga tidak seperti Yogya persebaran buku di sana,” jelas Pak Dede.

Deuhh, bagaimana ya mahasiswa dan pelajar bisa melek terhadap banyak hal, jika buku yang mereka baca sangat sedikit jumlahnya. Janganlah berbicara kualitas dulu, secara kuantitas saja masih jauh panggang dari api, ucap saya dengan sedih. Di Padang ada Gramedia dan Sari Anggrek. Koleksinya lebih banyak buku-buku pop dan buku sekolah. Di Padangpanjang belum ada toko buku yang lengkap. Adanya toko buku islami yang sekalian menjual jilbab dan aksesoris. Ada lapak-lapak buku bajakan, tetapi lebih banyak isinya komik bajakan dan teenlit. Baru belakangan saya lihat ada bajakan buku Pramoedya Ananta Toer dan Chairil Anwar. Lalu buku bajakannya Balai Pustaka.

Pulang dari magang, saya memang sempat bingung akan apa yang harus saya lakukan. Saya harus tinggalkan komunitas karna banyak faktor. Saya ikut bantu kegiatan kawan-kawan di Padang sambil melihat situasi yang terjadi. Akhirnya karena sudah terdesak untuk menyelesaikan skripsi, saya kembali ke Padangpanjang juga. Saya jalankan bisnis Rumah Jamur yang telah dirintis bersama empat orang teman lainnya. Rumah Jamur merupakan tempat budidaya jamur tiram. Kami mendapatkan modal dari dana hibah program kewirausahaan yang dicanangkan Dikti. Untuk meramaikan Rumah Jamur kami, saya meminta Rudi untuk meletakkan buku-bukunya di Rumah Jamur. Rudi dan kawan-kawan juga mendapatkan program yang sama dengan saya. Hanya saja dia menjual buku-buku. Saya melihat dia dan kawan-kawannya tidak terlalu mengurusi buku-bukunya. Makanya saya sarankan untuk ditaruh di Rumah Jamur. Buku-buku Rudi cukup laris akhirnya. Rumah Jamur akan dikembangkan menjadi kafe buku. Sayapun memberanikan diri minta dikirimi buku Ultimus kepada Bilven. Bilvenpun menyetujuinya, dengan sistem konsinyasi yaitu, Ultimus mengirim buku terlebih dahulu, nanti kalau sudah laku, baru saya laporkan dan mengirim uangnya. Saya dapat persenan, dan tidak perlu membelinya dulu.

Beberapa teman pesimis dengan apa yang saya lakukan. Katanya tidak banyak yang berminat terhadap buku. Tidak banyak yang membaca buku di Padangpanjang kata banyak orang di sini. Tetapi saya kok tidak percaya ya. Dari pengalaman saya yang sangat haus akan buku, terbesit pasti juga ada orang lain seperti saya. Ternyata hal itu terbukti. Selama ini bukan mereka tidak mau membeli buku dan membaca. Karena memang buku itu sendiri yang sangat sedikit kuantitasnya di sini. Belum lagi buku-buku seni, filsafat dan sastra yang susah sekali dicari. Sewaktu saya membuat lapak buku di kampus, beberapa dosen menyalami saya karena mereka bangga saya mampu melakukan ini. Padahal saya kan hanya jualan, dalam hati saya. Beberapa teman mengerubungi saya dan menanyakan  buku-buku yang mereka cari. Saya catat juga permintaan mereka. Walaupun saya tahu susah sekali mencari buku yang mereka inginkan itu. Banyak juga yang meminta untuk menyimpan dulu buku-buku yang mereka pilih. Awal bulan barulah mereka ambil dan bayar. Saya senang karena teman-teman dapat buku, sayapun akhirnya bisa bayar uang kuliah semester ini.

Setelah menggelar dagangan di kampus, banyak teman-teman yang datang ke rumah untuk membeli buku atau sekedar melihat-lihat. Bahkan setelah saya suguhkan jamur crispy, mereka menjadi pelanggan tetap Rumah Jamur. Beberapa teman juga sekedar ngobrol dan mereguk kopi panas yang saya hidangkan. Saya menarik kesimpulan, ternyata minat baca di kampus saya juga tidak jelek. Buktinya banyak yang beli buku, banyak yang pesan buku, dan banyak yang mendiskusikan buku ini dan itu. Bahkan tak segan-segan mereka membawa buku koleksi mereka. Beberapa teman juga mengenalkan saya dengan toko buku online yang menjual buku-buku bagus dan langka.

Hal ini tampaknya semakin menarik. Beberapa teman meminta saya untuk membuka cabang Rumah Jamur dan toko buku di Padang. Ondehhh. Bahkan seorang teman lama yang sudah tidak terdengar kabarnya, menghubungi saya dan minta untuk bikin kafe buku di Padang. Modal dia yang tanggung, asal saya yang mengurusnya di Padang. Deuuhh. Banyak teman juga meminta saya berjualan buku di gedung tempat mereka mengadakan acara. Alasannya, biar acaranya lebih ramai. Tidak ada permintaan untuk membagi persenan. Saya sungguh terharu dengan kebaikan hati mereka. Saya yang jualan, kok mereka yang meminta saya untuk berjualan di acaranya. Tidak semuanya juga bisa saya penuhi, karena saya sendiri melakukannya dan terkadang tidak ada teman yang bisa diajak untuk membantu.

Beberapa penulis yang ada di Padangpanjang dan Sumatra Barat dengan senang hati menitipkan buku karyanya di Rumah Jamur. Diantaranya, Muhammad Subhan (penulis novel Rinai Kabut Singgalang), Yetti KA (Cerpenis asal Bengkulu, buku kumpulan cerpennya yang terbaru, Satu Hari Bukan di Hari Minggu), dan Irzen Hawer (Guru dan penulis novel Cinta di Kota Serambi dan Gerhana di Kota Serambi). Mereka juga pelanggan jamur Rumah Jamur.

Saya sungguh tak banyak fokus juga pada keuntungannya. Yang ada di benak saya adalah untuk bisa menyebarkan buku di kampung ini. Melihat teman-teman mendapatkan buku yang mereka suka, saya pun ikut bahagia. Melihat teman-teman membeli buku sampai ratusan ribu, saya sangat kagum. Beberapa hari yang lalu, seorang teman membeli buku dengan total Rp. 340.000. Saya kagum dengan dia. Ternyata teman di kampus saya juga ada yang lebih gila membeli buku dari saya. “Ini lima hari ke depan saya gak makan nih,” selorohnya. Dia masih sempat mengeluarkan buku dari tas nya, Negeri Fast Food, terbitan Insist. Dia mengatakan, “Ini buku bagus, kamu wajib membacanya. Jual di sini deh, pasti banyak yang beli. Oh iya, cariin buku Jejak Langkah Pram dong, saya belum baca yang itu.” Saya cengengesan melihatnya. Dengan sebegitu banyak buku yang dia beli dan katanya akan mengurangi jatah makannya, masih juga minta cariin buku. Walaahhh…

Suatu kebahagiaan tersendiri ketika di jalan disapa adik tingkat yang wajahnya saja tidak begitu saya kenal. Maklum, sudah satu tahun ini jarang ke kampus. Sapaannya menanyakan buku. “Udah ada buku yang baru, Kak?” tanyanya. Sambil tersenyum saya jawab “Wah… belum ada tuh.” “Kalau ada buku baru yang datang, kabari ya, Kak,” pintanya. “Ho oh…oke deh…amaan tu.” Deuhh, ke mana ya ngabarinnya, lupa juga nanya nama dan jurusannya. Hehehe.

Sumber: akumassa.org - 8 Juni 2012


Artikel & Tinjauan Buku