
Di Bawah Bintang Sabit
DI ujung Kedungwuni, desa yang terkurung rawa dan sawah, Sarman berdiri dengan cangkul yang gemetar di tangan, seolah memeluk luka yang tak pernah ia ucapkan. Langit Jawa Tengah kelabu, embunnya seperti air mata Tuhan yang menangisi anak-anaknya yang kelaparan. Cangkul itu tua, retak seperti tangannya yang penuh kapalan, seperti hatinya yang telah remuk oleh tiga puluh tahun menggarap tanah—tanah yang bukan miliknya, tanah yang mencuri napas, mimpinya, dan cahaya di mata anak-anaknya.