+62 812 245 6452
Your shopping cart is empty!
Berbeda dengan sajak-sajak pada buku sebelumnya, Isi Otakku (Ultimus, 2010), sajak Opik pada buku ini lebih liris, penuh perenungan dan cinta. Apakah ini pertanda Opik sedang jatuh cinta? Pada sebagian sajaknya yang lain, Opik cukup cerdas “merekam” suasana di sekelilingnya, peristiwa yang menurut kebanyakan orang mungkin biasa-biasa saja, menjadi luar biasa. Opik mengolah pengalaman itu menjadi sesuatu yang lain—tentu dengan ciri khas gaya ungkap yang sederhana namun mengena. Merekam peristiwa di sekeliling dalam bentuk puisi tentu tidak mudah, tapi Opik berhasil melakukannya.
Matdon – Rois 'Am Majelis Sastra Bandung
Saya bukan komentator puisi tapi suka menulis dan membaca puisi. Membaca puisi-puisi saudaraku Muhammad Budi Pramono dan Taufik Hidayat, saya menemukan kegagahan semangat yang bangkit dan siap bersikap menghadapi hidup, mengisi hidup, mensyukuri hidup. Sungguh saya mengagumi kejujuran dan sangat menghargai semangat mereka dalam menulis puisi. Salam dan terima kasih saudaraku.
Deddy Koral – seniman
Ketika mencoba menggali bagaimana memandang Opik dan Budi, bicara soal karya dan dunianya, di sana ada cinta, harapan, dan kadang ada pertanyaan-pertanyaan tentang kenyataan yang harus mereka jalani. Berbagai situasi, kondisi, dan pendalaman rasa melahirkan karya-karya jiwa yang menyentuh tapi sarat dengan semangat hidup optimisme.
D.Ardikana – pelukis
Muhammad Budi Pramono dilahirkan 12 April 1986. Sekolah Luar Biasa (SLB-D YPAC) hingga jenjang SMA. Setelah lulus SMA, bergabung dengan beberapa komunitas di Bandung, antara lain komunitas Pentas, rumah belajar Taboo, Sanggar Olah Seni (SOS), Yayasan Sidikara, Majelis Sastra Bandung, Bengkel Kreasi 19 yang kemudian bernama Bengkel Kreasi Gapat di mana ia menjadi ketua hingga periode 2013. Bergabung dengan Lembaga Bandung Independent Living Center (BILiC) pada Juli 2010 dan pada tahun 2011 hingga sekarang dipercaya menjadi divisi advokasi, terkadang menjadi pembicara mewakili BILiC dan diri sendiri. Puisinya masuk ke dalam buku antologi puisi Wirid Angin yang diterbitkan oleh Majelis Sastra Bandung (2012)
Taufik Hidayat atau Opik, begitu ia dipanggil, lahir di Bandung 23 Maret 1975. Menulis puisi sejak di bangku SMP. Saat ini aktif di beberapa komunitas seni seperti Bengkel Kreasi Gapat, Sanggar Olah Seni, Majelis Sastra Bandung, Yayasan Sidikara, dan sebuah Lembaga Bandung Independent Living Center (BILiC), Tahun 2010 lalu meluncurkan buku kumpulan puisi yang pertama Isi Otakku (Ultimus, 2010) di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Puisi menjadi ungkapan dari hati dan pikiran yang tak bisa dikatakan lisan dengan jelas.
Tags: puisi, difabel, Muhammad Budi Pramono, Opik